SELAMAT DATANG DI MADRASAH ALIYAH "DARUSSALAM" JETAK-WEDUNG-DEMAK

Sabtu, 05 Maret 2011

Problem Pendidikan di Era Reformasi

Oleh : Agus Syafi`i

Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaannya. Kebudayaan adalah konsep, gagasan, pikiran, dan keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat dalam waktu lama sehingga menuntun mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda konsep, berakibat berbeda pula perilaku, salah konsep berakibat menjadi salah perilaku. Kebudayaan tidak jadi dengan sendirinya, tetapi dibangun oleh para pemimpin bangsa.
Konsep kebangsaan Indonesia misalnya tercermin dalam konstitusi (Pancasila, UUD 45 dst) yang dirumuskan oleh faunding father RI dan dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya. Membangun kebudayaan dilakukan terutama melalui pendidikan. Oleh karena itu sangat mengherankan ketika dalam kabinet kita, kebudayaan hanya ditempel pada pariwisata sehingga kebudayaan terdistorsi menjadi benda-benda kebudayaan yang dijadikan obyek pariwisata, sementara ruhnya justru tidak ada yang mengerjakan.
Sesungguhnya jika tidak menjadi departemen sendiri, kebudayaan lebih tepat berada di Departemen Pendidikan (Depdikbud), karena pendidikanlah yang membangun konsep budaya Indonesia pada generasi sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman kanak-kanak bisa diserahkan kepada masyarakat lokal sebagai wujud pembentukan budaya lokal, dan kearifan lokal.
Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:
  1. Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibnu Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran.
    Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun
    masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar. What wrong?

  2. Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Lalu apa yang salah pada pendidikan generasi ini?
Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini, meliputi:
[1] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
[2] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
[3] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin.
[4] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global

[5] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa.
Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp.400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya Rp.4.000,-/anak/tahun.

[6] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
[7] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah.
[8] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.
[9] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.

Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang

telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:

  • Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
  • Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
  • Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
  • Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
  • Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
  • Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
  • Cendekiawan yang hipokrit,
  • Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan
  • Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
  • Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis.
Pendidikan pada Era reformasi
  • Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi.
  • Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidak kompetetif hari ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah sistem pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
  • Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor bidang pendidikan tetap mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja berpedoman kepada teori-teori Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.
  • Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.
  • Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
  • Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda.
  • Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti, gelar-gelar akademik juga tidak lagi relefan. 

Jumat, 04 Maret 2011

Demokratisasi Kehidupan Melalui NU

Oleh: Abdurrahman Wahid


Judul di atas kedengarannya terkesan bombastis, karena sebenarnya selama ini nahdlatul Ulama (NU) dianggap organisasi tradisional yang dianggap sarat dengan nilai-nilai yang tak mudah berubah. Di sinilah sebenarnya terletak pandangan salah tentang tradisionalisme yang dianut NU. Sedangkan demokratisasi adalah sebuah proses bagi perubahan-perubahan nilai dan tata cara hidup. Ia bukanlah perubahan dalam bentuk luarnya saja, umpamanya perubahan pakaian dan alat-alat komunikasi tanpa merubah sistem nilai yang ada dalam cara hidup kaum tradisionalis. Dari dulu, misalnya, seorang santri di pesantren menghormati gurunya dengan caranya sendiri.

Hal ini dapat dilihat dalam pergaulan antar para Kyai tradisionalis, yang penuh dengan sikap saling mempercayai di antara mereka (yang tidak menguasai bahasa asing manapun kecuali mampu membaca teks-teks klasik belaka). Sedangkan penulis hidup dalam dunia kontemporer/masa kini, yang menentukan bentuk-bentuk penghayatan tersendiri. Namun, penulis merasa adanya kesamaan nilai-nilai dasar yang beliau-beliau gunakan tersebut. Karena, kesemuanya itu mengandung postulat-postulat (muqaddimat) yang sama, seperti keikhlasan dan kehatian yang sama terhadap kepentingan umum. Dengan sendirinya mudah saja ditemukan persamaan-persamaan antara cara hidup ‘modern’ yang penulis jalani, dan cara hidup tradisional yang beliau-beliau ikuti. Inilah sebabnya mengapa modernisme yang penulis lakukan dapat diterima oleh para beliau itu.

Karenanya, kalau ada orang yang merasa heran mengapa dalam tradisionalisme yang dianut, para warga NU dapat menerima proses demokratisasi? Kesalahan sebenarnya terletak pada ketidak-mampuan memahami bahwa tradisionalisme ada bermacam-macam seperti halnya demokrasi. Karenanya, generalisasi (ta’mim) sangat berbahaya dalam memahami perubahan demi perubahan yang sangat komplek antar bermacam-macam unsurnya.

Contoh yang kongkrit umpamanya dapat ditemukan dalam pola pendidikan yang ditempuh anak-anak kaum tradisionalis. Mereka menempuh pendidikan formal, seperti anak-anak orang lain, mulai dari jenjang S1 hingga S3. Namun, di luar-luar jam sekolah, mereka memperoleh pendidikan informal, bahkan pendidikan non-formal, yang tetap saja membuat mereka berbeda dalam pandangan hidup dan nilai-nilai yang mereka anut.

Inilah yang antara lain menghasilkan “orang aneh” seperti Prof. Dr. Nurcholish Madjid, yang dilihat dari sudut manapun berbeda dari kolega-koleganya yang tidak pernah belajar di lingkungan pesantren. Bahwa kemudian ia berpaling kepada “pondok modern” di Gontor (Ponorogo) membuat ia berbeda dari orang-orang yang belajar di luar pondok pesantren. Tetapi, di sinipun terdapat perbedaan dirinya dengan kaum tradisionalis yang tidak mengakui modernisasi, seperti lingkungan semula dari Cak Nur ketika ia belajar di Pondok pesantren Rejoso (Peterongan, Jombang). Karena itu, kita menghadapi kesulitan bila ingin memasukkan dirinya ke dalam “golongan” hidup tertentu, sebagai identitas dirinya.

***

Pada tahun 1975, penulis memperhatikan baik-baik apa yang berkembang dalam dialog antara tujuh orang ahli fiqh, mengenai “tawaran pemerintah” untuk melakukan sesuatu guna mengatur kelahiran di kalangan bangsa kita. Ketika itu, istilah yang digunakan adalah pembatasan kelahiran (tahdid al-nasl). Dalam sebuah musyawarah antara ke tujuh orang ahli fiqh itu, dikembangkan sebuah istilah baru yaitu “pengaturan” (dan bukannya pembatasan) kelahiran yang dengan sendirinya merubah orientasi sebuah lembaga nasional. Ditemukanlah kemudian sebuah istilah yang tepat yaitu Keluarga Berencana (KB) dengan sebuah provisi baru yang sangat menarik: penggunaan metode dan obat-obatan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta “penjarangan kelahiran” yang bersifat permanent, dengan sendirinya KB lalu diperbolehkan dari sudut “penafsiran tradisional”.

Tradisionalisme yang konstruktif dan imajinatif seperti itu, sebenarnya tidak memiliki “hambatan permanent” bagi upaya demokratisasi. Dalam hal ini, “perbenturan” antara tradisionalitas dan modernitas ternyata tidak berkembang ke arah “pertentangan permanent” antara keduanya. Tidak ada yang terjadi antara keduanya, penggunaan kekerasan dalam perbedaan itu. Ini berarti adanya kemungkinan untuk menempatkan hal-hal tradisional, di samping tingkah laku yang ingin menampilkan pihak mereka masing-masing dalam arena politik. Memang, perbedaan ‘trah’ di antara berbagai pihak itu menjadi sulit dileraikan. Perbedaan itu akhirnya menjadi pendapat/qaul yang berbeda tetapi tidak bertentangan. Karenanya, semuanya diselesaikan dengan mengakui perbedaan-perbedaan yang terdapat tanpa harus bertentangan satu sama lain.

Contoh terbaik dalam hal ini, adalah apa yang terjadi ketika Ra’is Akbar NU KHM. Hasjim Asy’ari “mencari” hilal/rembulan pada masa kolonial di Gunung Tunggorono (sebelah barat kota Jombang) bersama Katib ‘Aam, KH M. Bisri Sjansuri, yang tinggal sekitar satu kilometer dari bukit tersebut, di Pondok Pesantrennya Denanyar (Jombang). Pada saat itu, KH M Bisri Sjansuri dapat melihat hilal, tetapi KH M. Hasjim Hasjim Asj’ari tidak melihatnya. Ucapan beliau dalam hal ini jelas-jelas menunjukkan adanya perbedaan yang tanpa pertentangan itu. Beliau menyampaikan, karena KH M. Bisri Sjansuri melihat/menyaksikan hilal, maka ia tidak boleh berpuasa keesokan harinya. Namun beliau tidak menjabat Rais Akbar, yang harus memberikan keputusan hukum/ fatwa fiqh dalam hal ini. KH M. Hasjim Asj’ari justru memiliki wewenang tersebut, karena jabatan beliau. Padahal, beliau tidak melihat hilal sama sekali. Dengan demikian, fatwa yang harus keluar adalah istikmal Ramadhan/ melengkapkan puasa sehari lagi.

***

Nah, perbedaan tanpa pertentangan itulah yang menjadi jiwa/esensi demokrasi, dalam apa yang disebutkan sebagai perbedaan pendapat, dan bukannya pertentangan pandangan. Hasilnya adalah berbilangnya pendapat, yang diselesaikan dengan pemungutan suara kalau tradisi berdemokrasinya belum “mapan” benar. Jika sudah, maka tidak setiap hal harus diselesaikan dengan pemungutan suara, melainkan dengan “kebebasan” mengikuti pendapatnya masing-masing. “Kebenaran” dalam hal ini lalu menjadi nisbi (relative). Kedewasaan sebuah masyarakat “diukur” dengan cara ini, sehingga sebenarnya, kebebasan itulah yang menjadi timbangan kita semua, dan bukannya pendapat resmi yang diambil pemerintah.

Pada saat ini, presiden AS George W. Bush Junior yang tadinya memutuskan untuk menyerbu dan menduduki Irak, dianggap oleh sebagian masyarakat, melalui jajak pendapat (polling) salah mengambil tindakan. Dan sebagai akibatnya orang harus menunggu tanpa meninggalkan anggapan bahwa ia bersalah, sampai dengan pemilu presiden bulan November yang akan datang. Dari sekarang sampai bulan minggu pertama November nanti, pendapat Bush diikuti pemerintah, sedangkan sebagian besar rakyat berpandangan ia melakukan kesalahan dengan tindakan tersebut.

Inilah yang sebenarnya penting sekali dalam sebuah demokrasi. Kita harus menunggu perembugan-perembugan, dalam berusaha mencari pendapat akhir yang akan dipakai, tanpa melakukan kekerasan. Kalau kita tidak mampu, ini berarti parubahan politik yang terjadi dilakukan dengan menggunakan kekerasan sebagai alat penekan. Artinya, keputusan yang diambil juga tidak demokratis. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghindari kekerasan seperti itu, adalah ambil alih kekuasaan (yang sebenarnya juga tidak demokratis, namun “terpaksa” dilakukan untuk menghindarkan kekerasan), asal diarahkan kepada sebuah pemilu yang jujur, bebas dan rahasia dalam waktu tidak terlalu lama. Pemilu itulah yang membawakan sistem politik demokratis. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bagi NU, bukan?

Sukabumi, 25 Juni 2004

Sumber: GusDur.net