SELAMAT DATANG DI MADRASAH ALIYAH "DARUSSALAM" JETAK-WEDUNG-DEMAK

Jumat, 04 Maret 2011

Demokratisasi Kehidupan Melalui NU

Oleh: Abdurrahman Wahid


Judul di atas kedengarannya terkesan bombastis, karena sebenarnya selama ini nahdlatul Ulama (NU) dianggap organisasi tradisional yang dianggap sarat dengan nilai-nilai yang tak mudah berubah. Di sinilah sebenarnya terletak pandangan salah tentang tradisionalisme yang dianut NU. Sedangkan demokratisasi adalah sebuah proses bagi perubahan-perubahan nilai dan tata cara hidup. Ia bukanlah perubahan dalam bentuk luarnya saja, umpamanya perubahan pakaian dan alat-alat komunikasi tanpa merubah sistem nilai yang ada dalam cara hidup kaum tradisionalis. Dari dulu, misalnya, seorang santri di pesantren menghormati gurunya dengan caranya sendiri.

Hal ini dapat dilihat dalam pergaulan antar para Kyai tradisionalis, yang penuh dengan sikap saling mempercayai di antara mereka (yang tidak menguasai bahasa asing manapun kecuali mampu membaca teks-teks klasik belaka). Sedangkan penulis hidup dalam dunia kontemporer/masa kini, yang menentukan bentuk-bentuk penghayatan tersendiri. Namun, penulis merasa adanya kesamaan nilai-nilai dasar yang beliau-beliau gunakan tersebut. Karena, kesemuanya itu mengandung postulat-postulat (muqaddimat) yang sama, seperti keikhlasan dan kehatian yang sama terhadap kepentingan umum. Dengan sendirinya mudah saja ditemukan persamaan-persamaan antara cara hidup ‘modern’ yang penulis jalani, dan cara hidup tradisional yang beliau-beliau ikuti. Inilah sebabnya mengapa modernisme yang penulis lakukan dapat diterima oleh para beliau itu.

Karenanya, kalau ada orang yang merasa heran mengapa dalam tradisionalisme yang dianut, para warga NU dapat menerima proses demokratisasi? Kesalahan sebenarnya terletak pada ketidak-mampuan memahami bahwa tradisionalisme ada bermacam-macam seperti halnya demokrasi. Karenanya, generalisasi (ta’mim) sangat berbahaya dalam memahami perubahan demi perubahan yang sangat komplek antar bermacam-macam unsurnya.

Contoh yang kongkrit umpamanya dapat ditemukan dalam pola pendidikan yang ditempuh anak-anak kaum tradisionalis. Mereka menempuh pendidikan formal, seperti anak-anak orang lain, mulai dari jenjang S1 hingga S3. Namun, di luar-luar jam sekolah, mereka memperoleh pendidikan informal, bahkan pendidikan non-formal, yang tetap saja membuat mereka berbeda dalam pandangan hidup dan nilai-nilai yang mereka anut.

Inilah yang antara lain menghasilkan “orang aneh” seperti Prof. Dr. Nurcholish Madjid, yang dilihat dari sudut manapun berbeda dari kolega-koleganya yang tidak pernah belajar di lingkungan pesantren. Bahwa kemudian ia berpaling kepada “pondok modern” di Gontor (Ponorogo) membuat ia berbeda dari orang-orang yang belajar di luar pondok pesantren. Tetapi, di sinipun terdapat perbedaan dirinya dengan kaum tradisionalis yang tidak mengakui modernisasi, seperti lingkungan semula dari Cak Nur ketika ia belajar di Pondok pesantren Rejoso (Peterongan, Jombang). Karena itu, kita menghadapi kesulitan bila ingin memasukkan dirinya ke dalam “golongan” hidup tertentu, sebagai identitas dirinya.

***

Pada tahun 1975, penulis memperhatikan baik-baik apa yang berkembang dalam dialog antara tujuh orang ahli fiqh, mengenai “tawaran pemerintah” untuk melakukan sesuatu guna mengatur kelahiran di kalangan bangsa kita. Ketika itu, istilah yang digunakan adalah pembatasan kelahiran (tahdid al-nasl). Dalam sebuah musyawarah antara ke tujuh orang ahli fiqh itu, dikembangkan sebuah istilah baru yaitu “pengaturan” (dan bukannya pembatasan) kelahiran yang dengan sendirinya merubah orientasi sebuah lembaga nasional. Ditemukanlah kemudian sebuah istilah yang tepat yaitu Keluarga Berencana (KB) dengan sebuah provisi baru yang sangat menarik: penggunaan metode dan obat-obatan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta “penjarangan kelahiran” yang bersifat permanent, dengan sendirinya KB lalu diperbolehkan dari sudut “penafsiran tradisional”.

Tradisionalisme yang konstruktif dan imajinatif seperti itu, sebenarnya tidak memiliki “hambatan permanent” bagi upaya demokratisasi. Dalam hal ini, “perbenturan” antara tradisionalitas dan modernitas ternyata tidak berkembang ke arah “pertentangan permanent” antara keduanya. Tidak ada yang terjadi antara keduanya, penggunaan kekerasan dalam perbedaan itu. Ini berarti adanya kemungkinan untuk menempatkan hal-hal tradisional, di samping tingkah laku yang ingin menampilkan pihak mereka masing-masing dalam arena politik. Memang, perbedaan ‘trah’ di antara berbagai pihak itu menjadi sulit dileraikan. Perbedaan itu akhirnya menjadi pendapat/qaul yang berbeda tetapi tidak bertentangan. Karenanya, semuanya diselesaikan dengan mengakui perbedaan-perbedaan yang terdapat tanpa harus bertentangan satu sama lain.

Contoh terbaik dalam hal ini, adalah apa yang terjadi ketika Ra’is Akbar NU KHM. Hasjim Asy’ari “mencari” hilal/rembulan pada masa kolonial di Gunung Tunggorono (sebelah barat kota Jombang) bersama Katib ‘Aam, KH M. Bisri Sjansuri, yang tinggal sekitar satu kilometer dari bukit tersebut, di Pondok Pesantrennya Denanyar (Jombang). Pada saat itu, KH M Bisri Sjansuri dapat melihat hilal, tetapi KH M. Hasjim Hasjim Asj’ari tidak melihatnya. Ucapan beliau dalam hal ini jelas-jelas menunjukkan adanya perbedaan yang tanpa pertentangan itu. Beliau menyampaikan, karena KH M. Bisri Sjansuri melihat/menyaksikan hilal, maka ia tidak boleh berpuasa keesokan harinya. Namun beliau tidak menjabat Rais Akbar, yang harus memberikan keputusan hukum/ fatwa fiqh dalam hal ini. KH M. Hasjim Asj’ari justru memiliki wewenang tersebut, karena jabatan beliau. Padahal, beliau tidak melihat hilal sama sekali. Dengan demikian, fatwa yang harus keluar adalah istikmal Ramadhan/ melengkapkan puasa sehari lagi.

***

Nah, perbedaan tanpa pertentangan itulah yang menjadi jiwa/esensi demokrasi, dalam apa yang disebutkan sebagai perbedaan pendapat, dan bukannya pertentangan pandangan. Hasilnya adalah berbilangnya pendapat, yang diselesaikan dengan pemungutan suara kalau tradisi berdemokrasinya belum “mapan” benar. Jika sudah, maka tidak setiap hal harus diselesaikan dengan pemungutan suara, melainkan dengan “kebebasan” mengikuti pendapatnya masing-masing. “Kebenaran” dalam hal ini lalu menjadi nisbi (relative). Kedewasaan sebuah masyarakat “diukur” dengan cara ini, sehingga sebenarnya, kebebasan itulah yang menjadi timbangan kita semua, dan bukannya pendapat resmi yang diambil pemerintah.

Pada saat ini, presiden AS George W. Bush Junior yang tadinya memutuskan untuk menyerbu dan menduduki Irak, dianggap oleh sebagian masyarakat, melalui jajak pendapat (polling) salah mengambil tindakan. Dan sebagai akibatnya orang harus menunggu tanpa meninggalkan anggapan bahwa ia bersalah, sampai dengan pemilu presiden bulan November yang akan datang. Dari sekarang sampai bulan minggu pertama November nanti, pendapat Bush diikuti pemerintah, sedangkan sebagian besar rakyat berpandangan ia melakukan kesalahan dengan tindakan tersebut.

Inilah yang sebenarnya penting sekali dalam sebuah demokrasi. Kita harus menunggu perembugan-perembugan, dalam berusaha mencari pendapat akhir yang akan dipakai, tanpa melakukan kekerasan. Kalau kita tidak mampu, ini berarti parubahan politik yang terjadi dilakukan dengan menggunakan kekerasan sebagai alat penekan. Artinya, keputusan yang diambil juga tidak demokratis. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghindari kekerasan seperti itu, adalah ambil alih kekuasaan (yang sebenarnya juga tidak demokratis, namun “terpaksa” dilakukan untuk menghindarkan kekerasan), asal diarahkan kepada sebuah pemilu yang jujur, bebas dan rahasia dalam waktu tidak terlalu lama. Pemilu itulah yang membawakan sistem politik demokratis. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bagi NU, bukan?

Sukabumi, 25 Juni 2004

Sumber: GusDur.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar